Percaya Karena Melihat

Pernah membayangkan, sebuah teleskop atau sebuah Radio Astronomy sebesar planet bumi? Dan apakah itu mungkin untuk dibangun? serta apa gunanya membangun sebesar itu?

Untuk pengamatan jarak dekat tentu saja bisa hanya dengan menggunakan teleskop biasa yang banyak kita jumpai di pasaran umum, baik itu teleskop refraktor (Dioptric Telescope), teleskop optik yang menggunakan cermin, atau teleskop reflektor (Catoptrics Telescope) maupun teleskop optik yang menggunakan cermin dan lensa, atau teleskop katadioptri (Catadioptry Telescope). Namun teleskop kecil ini hanya bisa melihat apa yang tertangkap alias penangkapan gambar atau image langsung.

Tapi bagaimana jika kita ingin mengamati atau menangkap gambar dari tempat yang sangat jauh?, Nah di sini kita membutuhkan sesuatu yang lebih besar. Dan bukan dengan pola penangkapan langsung, tetapi membutuhkan teknologi yang lebih dari sekedar menggunakan optic, misalnya dengan menggunakan perkembangan teknologi inframerah, ultraviolet, radio, sinar-X, instrumen sinar gamma, ataupun teleskop berbasis ruang.

Ide tentang dibangunnya sebuah teleskop yang besar dan gigantic tersebut sudah dimulai dari sejak lama, sebut saja misalnya : Five hundred meter Apertur Spherical Telescope (FAST) di China yang berdiameter 500m, European Extremely Large Telecsope (E-ELT), Giant Magellan Telescope (GMT) di Chili, Thirty Meter Telescope di Amerika, Observatorium Arecibo di Puerto Rico, dan sampai yang ditempatkan di luar angkasa yaitu Hubble Space Telescope dan James Webb Space Telescope (JWST) milik NASA. Semuanya dibangun hanya untuk semata-mata agar manusia bisa mengetahui tentang keberadaan kita di alam semesta serta mempelajari fenomena-fenomena apa saja yang ada.

Apakah itu sudah cukup?

Tidak. Manusia selalu ingin terus lebih mengekslorasi teknologi dan sifat keingintahuannya selalu bertambah.

Lalu kemudian banyak bermunculan ide-ide yang lebih gila lagi, salah satunya adalah berita viral yang membuat kemajuan di bidang Space Science berbangga beberapa hari yang lalu yaitu telah dihasilkannya gambar atau image dari sebuah Black Hole (lubang hitam). Black Hole adalah fenomena yang sering disebut sebagai monster langit yang sangat padat. Karena gravitasinya yang begitu besar, tidak ada materi atau object angkasa apapun yang dapat lolos dari sebuah Black Hole, bahkan partikel subatomik atau radiasi elektromagnetik, seperti cahaya sekalipun. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa, lubang hitam adalah akibat ketika bintang-bintang yang cukup masif mengalami keruntuhan gravitasi pada akhir siklus hidupnya. Jauh setelah bintang itu kehabisan bahan bakar hidrogen terakhirnya dan meluas hingga beberapa kali ukuran, bintang tersebut akan meledakkan lapisan luarnya dalam ledakan spektakuler yang dikenal sebagai Supernova.

Lubang hitam tidak dapat dilihat karena hanya seperti ruang kosong, namun cakram panas dari materi yang melingkarinya itu bersinar terang. Batas luar lubang hitam, yaitu titik di mana tidak ada istilah untuk kembali setelah tertelan inilah yang kemudian dikenal sebagai “Event Horizon”. Nah, maka kemudian istilah itu dipakai untuk menandai dan menamai proyek ini. Dengan menggunakan jaringan internasional teleskop radio bernama Event Horizon Telescope (EHT) kita akhirnya bisa melihat sebuah lubang hitam yang berada di pusat galaksi Messier 87 (M87) yang berjarak 54 juta tahun cahaya dari planet kita, dalam sebuah “massive galaxy” di konstelasi bintang Virgo. Lubang hitam ini memiliki massa 6,5 miliar kali massa matahari kita. Ini termasuk dalam kategori SMBH (Super Massive Black Hole).

Kenapa jenis teleskop ini disebut “jaringan internasional”? Karena teleskop ini menggunakan sistem jaringan kolaborasi berbagai negara dengan menggabungkan 8 teleskop radio berbasis darat dari 8 titik di planet bumi, yaitu : ALMA, APEX, IRAM 30-meter telescope, James Clerk Maxwell Telescope, Large Millimeter Telescope Alfonso Serrano, Submillimeter Array, Submillimeter Telescope, dan South Pole Telescope. Sedangkan datanya atau Petabyte data mentah dari ke delapan teleskop tersebut digabungkan oleh sebuah sistem superkomputer yang dirancang khusus dan dihosting oleh Max Planck Institute for Radio Astronomy dan MIT Haystack Observatory. Inilah yang kita sebut sebagai “Teleskop Virtual” sebesar planet bumi yang pernah ada untuk mengamati fenomena-fenomena angkasa luar.

Mengutip perkataan seorang astronomer kawakan, “Daripada membangun teleskop raksasa yang akan runtuh karena beratnya sendiri, jauh lebih mudah bagi kami untuk menggabungkan banyak observatorium,” Michael Bremer, seorang astronom dari Institute for Millimetric Radio Astronomy (IRAM)

IRAM – International Research Institute for Radio Astronomy, kependekan dari : Institut de Radioastronomie Milimetrique, ini adalah salah satu tempat dimana saya melakukan riset tentang Radio Astronomy yang merupakan kelanjutan dari rangkaian riset yang telah kami lakukan di OHP (L’Observatoire de Haute-Provence), CPPM (Le Centre de Physique des Particules de Marseille), IAP (The Institut d’astrophysique de Paris), OMP (Observatoire Midi-Pyrénées – Pic du Midi Observatory), Station de Radio Astronomie de Nançay, LAM (The Laboratoire d’Astrophysique de Marseille), VIRAC (Ventspils International Radio Astronomy Centre), dan tentu saja LHC – CERN (European Organization for Nuclear Research). Rangkaian riset ini terjadi pada tahun 2017 – 2018, yang pada saat itu bersamaan pula dengan persiapan untuk Crew191 MARS Mission, MDRS – Mars Desert Research Station, Mars Simulation 2018.

Menilik pada sejarah kali pertama istilah Black Hole atau lubang hitam ini adalah sewaktu keberadaan lubang hitam diprediksi oleh Teori Relativitas Umum Einstein, yang menyatakan bahwa ruang dan waktu menjadi terdistorsi jika berhadapan dengan sebuah medan gravitasi. Seiring dengan perkembangan teknologi, para astronom dan ilmuwan akan memperluas persamaan bidangnya, yang akan mengarah pada teori lubang hitam.

Yang pertama adalah Karl Schwarzschild (1873-1916), seorang astronom Jerman yang menggunakan teori Relativitas Umum Einstein untuk menentukan bahwa materi yang dikompresi ke titik Singularity akan ditutup oleh wilayah ruang bola yang tidak dapat dilewati oleh apa pun atau yang kita sebut tadi sebagai Event Horizon.

Nama Schwarzschild lalu diabadikan untuk menentukan jari-jari di mana materi terkompresi akan membentuk lubang hitam sesaat sebelum kematiannya pada tahun 1916. Ini dikenal sebagai jari-jari Schwarzschild (atau jari-jari gravitasi), yang menggambarkan titik di mana massa bola terkompresi bahwa kecepatan lepas dari permukaan akan sama dengan kecepatan cahaya.

Lantas bagaimanakah cara melihat atau menangkap gambar dari Black Hole (Lubang Hitam) yang berada sangat jauh tersebut dan kenyataan bahwa tidak ada cahaya disana. Nah, disinilah fungsi dari teknologi yang menggunakan gelombang radio bisa digunakan untuk mengumpulkan semua data-data itu dan diolah menjadi sebuah gambar. Gelombang radio tersebut sampai ke bumi dan ditangkap oleh kedelapan teleskop yang saya paparkan diatas tadi. Perlu diketahui pula bahwa data dari “Teleskop Virtual” tersebut yang menggabungkan banyak observatorium dari seluruh dunia merupakan data sebuah “global network” dan juga dari “very long baseline interferometry” (VLBI). VLBI mengukur perbedaan waktu dalam sampainya sebuah sinyal gelombang mikro dari sumber radio extragalactic yang diterima di dua atau lebih observatorium radio di permukaan bumi. Secara umum, biasanya sesi pengamatan yang berupa observasi tersebut berjalan selama 24 jam nonstop dan mengamati sejumlah sumber radio berbeda yang berasal atau tertangkap dari ruang angkasa yang maha luas ini. Observatorium dapat dipisahkan secara teritori; sensitivitas pengamatan terhadap berbagai data dalam orientasi bumi menjadi jauh lebih akurat dengan menggunakan jaringan VLBI. Butuh ratusan observer dan astronomer untuk mengamati serta mengolah data ini. Bahkan selain astronomer dibutuhkan juga banyak ahli computer science yang bertugas untuk membuat pemrograman algoritma serta mengolahnya setelah data-data tersebut terkumpul.

Itulah sebabnya, satu nama yang paling mencuat dalam peristiwa dan fenomena yang menghebohkan dunia Space Science maupun masyarakat dunia secara luas ini adalah seorang wanita bernama Katherine Bouman, 29, seorang peneliti postdoctoral di Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics, telah bekerja dan membuat pola algoritma semacam itu selama hampir enam tahun, sejak ia masih menjadi mahasiswa di pascasarjana MIT. Dia adalah satu dari lebih dari tiga puluh ilmuwan komputer yang menggunakan algoritma untuk memproses data yang dikumpulkan oleh proyek EHT (Event Horizon Telescope) ini, yang merupakan hasil masif dari kolaborasi banyak ahli seluruh dunia dari para astronomer, computer science dan tentu saja ahli matematika. Katherine Bouman berhasil memastikan bahwa pola algoritma tersebut akurat dan dia juga berhasil menyatukan data menjadi sebuah gambar.

Proyek EHT ini juga melibatkan banyak institusi penting dunia di area space science, ada tigabelas yang tercatat dan turut menyumbangkan peran yang juga sangat menentukan hasil dari data-data tersebut yaitu : Academia Sinica Institute of Astronomy and Astrophysics, University of Arizona, University of Chicago, East Asian Observatory, Goethe-Universität of Frankfurt, Institut de Radioastronomie Millimétrique (Iram), Large Millimeter Telescope, Max Planck Institute for Radio Astronomy, MIT Haystack Observatory, National Astronomical Observatory of Japan, Perimeter Institute for Theoretical Physics, Radboud University dan Smithsonian Astrophysical Observatory.

Data yang dikumpulkan oleh berbagai observatorium yang berpartisipasi tersebut kemudian direkam dan diunggah ke dalam sebuah hard drive dan diangkut menggunakan pesawat ke MIT Haystack Observatory di Massachusetts, AS, dan Institut Max Planck untuk Radio Astronomy, Bonn, Jerman. Sesampai di sana, data tersebut berkorelasi silang dan dianalisis oleh 800 komputer yang terhubung melalui jaringan 40 Gbit/detik.

Dalam kerja gotong-royong ini pengamatan dari masing-masing observatorium, peneliti dan astronomer perlu mencatat waktu untuk data mereka dengan presisi yang akurat. Untuk itu, mereka menggunakan sebuah instrumen atau alat berupa jam atom maser hidrogen, yang tingkat errornya setara dengan kehilangan hanya sekitar satu detik setiap 100 juta tahun.

Ada banyak data untuk menandai satu bagian rentang waktu pengamatan. Dalam sebuah proses pengamatan dan percobaan misalnya bisa mencatat data pada kecepatan 64 Gbit/detik, yaitu sekitar 1.000 kali lebih cepat dari koneksi internet yang kita gunakan di kantor atau rumah kita saat ini.

Pada awalnya, kebanyakan spekulasi para astronomer saat itu berkonsentrasi pada kandidat lain yang ditargetkan oleh Event Horizon Telescope yaitu Sagittarius A*, sebuah lubang hitam di pusat galaksi kita sendiri, Bima Sakti.

Pada saat itu gambar pertama Sagitarius A* pada awalnya yang akan diproduksi pada bulan April 2017, ini ditunda karena Teleskop Kutub Selatan (Salah satu dari kedelapan teleskop di atas) ditutup selama musim dingin (April hingga Oktober 2017). Faktor inilah yang menunda pengiriman data hingga 23 Desember 2017 yang otomatis juga menunda pemrosesan dari data-data yang sudah terkumpul. Nah, dengan kerja keras tiada henti dan kolaborasi yang sangat masif inilah kemudian gambar pertama yang kita bisa saksikan sekarang malah berasal dari galaksi Messier 87 (M87) rilis pada 10 April 2019 lalu yang letaknya sangat jauh. Sebagai perbandingan, Sagitarius A* hanya berjarak 26.000 tahun cahaya dari planet Bumi.

Pertanyaan selanjutnya adalah, Bagaimana dengan ruang dan waktu yang kita kenal dan rasakan selama ini? Apakah masih berlaku ketika misalnya kita tertelan oleh sebuah lubang hitam?

Kita harus ingat bahwa apa pun yang melewati Event Horizon dalam batas ini baik itu materi maupun energi akan dikompresi menjadi wilayah ruang waktu yang sangat padat yang dikenal sebagai Singularity.

Singularity ini terletak di pusat lubang hitam. Maka lantas bisa dikatakan bahwa di wilayah inilah lengkungan ruang dan waktu mempunyai nilai yang tidak terbatas. Dengan kata lain, adalah dalam sebuah Singularity inilah keberadaan hukum fisika normal yang selama ini kita pelajari dan kita yakini kebenarannya menjadi tidak dapat dibedakan satu sama lain, juga tentang ruang dan waktu tidak lagi memiliki makna. Mengerikan kan? Dan sampai saat ini masih belum ada yang mengetahui atau memprediksi apa yang akan terjadi setelah (misalnya) kita tertelan dalam sebuah lubang hitam, apakah kita akan hancur atau malah kita akan menemukan dimensi lain, semisal teori tentang sebuah Paralel Universe dari keberadaan luasnya semesta ini? Kita akan tunggu kejutan selanjutnya dari perkembangan Space Science yang berjalan sangat progresif dari hari ke hari.

Sebagai penutup dari tulisan singkat ini adalah bahwa berhasilnya pencitraan dari lubang hitam ini seutuhnya adalah sebuah lompatan besar yang revolusioner dari perjalanan perkembangan Space Science umat manusia, yang juga akan membawa kita menuju dalam tahapan selanjutnya yang jauh lebih menegangkan…

Sebagai informasi EHT akan terus dikembangkan dan berevolusi di tahun-tahun mendatang, terutama dengan penambahan dua teleskop baru, yaitu penyempurnaan dan penambahan pada teleskop NOEMA di Pegunungan Alpen Prancis, dan Teleskop Greenland.

(venzha christ)

(Penulis adalah Guest Researcher IMéRA – the Institute for Advanced Study 2017-2018, Peneliti dan anggota dari Crew191 MARS Mission, MDRS – Mars Desert Research Station, Mars Simulation 2018, serta Commander untuk SHIRASE – Simulation of Human Isolation Research for Antarctica-based Space Engineering, EXP 0, 2019)

*terimakasih saya haturkan kepada teman dan guru saya : Ilham A. Habibie, Premana W. Premadi, Yudianto Asmoro, dan Gunawan Admiranto untuk segala arahan dan support-nya selama ini.